Abstract
Iklan terdiri dari tanda-tanda (signs). Dalan tanda, tercakup penanda (signifier), yakni materi yang diklankan: gambar, foto, atau ilstrasi; dan petanda (signified), yakni konsep atau makna di balik tanda tadi. Di sisi lain, iklan juga mencakup objek (produk yang diiklankan), konteks (gambar-gambar lain di sekitar objek, dan teks (tulisan, keterangan tertulis). Makna yang muncul bisa bersifat eksplisit, bisa pula implisit. Ketika sebuah iklan dikemas sesuai dengan realitas sesungguhnya dari produk yang ditawarkan, iklan tersebut menjadi semacam mirror of reality. Sebaliknya, bila kemasan iklan itu tidak sesuai dengan realitas produk yang sesungguhnya, maka ia menjadi semacam distorted mirror of reality. Distorted mirror of reality melahirkan simulasi dan kekerasan tanda. Dalam hal ini, iklan telah membangun logika baru: logika tanda dan logika citra. Tanda dan citra —bukan nilai utilitas, fungsi, atau substansi dtri produk— mengarahkan orang untuk membeli. Citra itu sendiri merupakan rangkaian ilusi yang disuntikkan pada komoditas. Tanda dimobilisasi ke dalam berbagai bentuk komoditas berdasarkan logika perbedaan; dan, dengan demikian, konsumsi menjadi sebuah sistem tanda. Orang tidak lagi membeli barang atas dasar fungsi atau substansi, melainkan makna simbolik. Dalam iklan, kini citra menjadi instrumen utama strategi penguasaan jiwa konsumen. Kemasan iklan demikian, pada akhirnya, membangun jurang antara citra yang ditampilkan dengan realitas produk sesungguhnya, dan pada gilirannya ia melakukan penipuan terhadap publik. Tentu saja ini harus dicarikan solusinya.